Kalau kita cermati tonggak-tonggak
sejarah pergerakan nasional dari Kebangkitan Nasional, Sumpah
Pemuda sampai Proklamasi
Kemerdekaan hakekatnya adalah
upaya membangun kebudayaan
nasional Indonesia baru penghuni Nusantara yang sejak runtuhnya Imperium
Majapahit yang terbelah menjadi
ratusan kerajaan sehingga
dengan mudah dikuasai oleh
kekuasaan asing, bahkan
hanya kekuatan organisasi
perdagangan, para pemimpin pergerakan
nasional dan para
pendiri republik dari Wahidin Sudiro Husodo dan R.A. Kartini
sampai Soekarno dan Hatta, yang menjadi
cerdas karena “pendidikan sekolah”,
akhirnya menetapkan bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional
adalah tujuan utama perjuangan dan pembangunan bangsa. Dan untuk
mendukung proses mencerdaskan
kehidupan bangsa yang
dalam deklarasi kemerdekaan (Pembukaan UUD 1945) ditetapkan sebagai salah
satu misi penyelenggaraan Negara, para pendiri repubik melalui pasal 31 UUD 1945 mewajibkan
pemerintah untuk “mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran
nasional” (sistem pendidikan nasional)
serta memajukan kebudayaan
nasional (pasal 32 UUD
1945). Atas dasar pemahaman penulis hakekat pembangunan
nasional adalah pembangunan kebudayaan (peradaban) nasional, memilih pokok
bahan tentang peranan pendidikan IPS
dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional, dan melestarikan
kebudayaan nasional. Untuk itu tulisan ini akan berturut-turut membahas (1)
makna mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional; (2)
penyeleggaraan pendidikan nasional untuk memajukan kebudayaan nasional; (3)
sekolah satuan pendidikan sebagai pusat pembudayaan; (4) kedudukan IPS dalam menunjang tercapainya mencerdaskan
kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional; dan (5) catatan penutup.
I. Makna Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa dan Memajukan Kebudayaan Nasional
Kalau kita simak kondisi masyarakat
dunia setelah berakhirnya Perang Dunia ke II, tampak betapa dunia, baik di
bidang politik, ekonomi, perdagangan dunia, teknologi, dan hubungan
politik internasional sepenuhnya dilandasi oleh peradaban yang
dalam bahasa St. Takdir Alisahbana sebagai “kebudayaan modern yang rasional,
berdasarkan kemajuan ilmu, teknologi, dan yang menekankan hak-hak manusia dan sebagainya”[2] Dalam menghadapi dunia yang sepenuhnya
dikuasai oleh kebudayaan modern, yang
hakekatnya berakar dari budaya Helenik empat abad sebelum masehi dan berkembang
pesat sejak Renaissance, baru sebagian
kecil anggota masyarakat Indonesia yang mengenal, menguasai, dan
menghayatibudaya tersebut. Pada periode sebelum pendudukan Jepang, jumlah orang
Indonesia yang mengikuti pendidikan yang sepenuhnya berlandaskan kebudayaan
modern sangatlah terbatas. Pada
1940, jumlah anak
Indonesia yang masuk
sekolah dasar yang
sepenuhnya berorientasi pada kebudayaan modern hanyalah 93.416 orang
(HIS dan HCS), 4.034 ELS, 8.235 orang siswa S M P (MULO), sedangkan pada tingkat sekolah
menengah 922 orang siswa AMS, 552 orang siswa HBS, 206 orang siswa gymnasium
(lycea), sedangkan jumlah mahasiswa
hanyalah 157 orang.[3] Di samping itu
menurut catatan Bruce Glassburner,[4]
pada 1949, empat tahun setelah merdeka, Indonesia baru memiliki 35 orang
insinyur, 1.200 dokter, 150 dokter gigi, dua orang ekonom bergelar doktor dan
seorang fisikawan. Ini adalah akibat sedikitnya jumlah orang Indonesia yang dapat mengikuti pendidikan
tinggi. Pada 1940 hanya ada
37 orang Indonesia
yang lulus perguruan
tinggi. Indonesia baru mengenal perguruan tinggi pada 1920, yaitu dengan
berdirinya Technische Hoogeschool, dan itu pun kesempatan bagi orang Indonesia
sangat terbatas. Sementara itu universitas tertua telah berdiri pada abad ke-11
dan 12 (di Bologna dan Paris).
Di dunia politik, dengan UUD 1945 kita
menganut sistem demokrasi dalam susunan negara yang berbentuk Republik, suatu tatanan
penyelenggaraan negara yang belum pernah dialami oleh rakyat bangsa Indonesia,
bahkan oleh para penyusun konsep sistem politik itu sendiri. Dalam
administrasi penyelenggaraan negara
dan pengelolaan modal
serta perdagangan, apalagi dalam
dunia industri, hanya sebagian kecil rakyat Indonesia yang terlibat, itu pun
bukan pada tingkatan manajer, melainkan umumnya pada tingkat pelaksanaan. Di
dunia pertanian, sebagain rakyat bangsa Indonesia adalah petani tradisional
Melihat perkembangan
Indonesia pada saat
proklamasi dan tatanan
dunia yang dihadapi oleh
Indonesia yang baru merdeka, menurut pandangan penulis, telah mendorong para
pendiri Republik menempatkan tujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan kemerdekaan kebangsaan
Indonesia. Maknanya adalah
membawa masyarakat bangsa Indonesia menuju masyarakat modern
abad ke-20.
Membawa masyarakat
Indonesia menuju masyarakat
modern, dalam pandangan penulis, adalah
suatu transformasi budaya.
Bahkan lebih daripada
itu, Presiden Soekarno memandangnya
sebagai suatu revolusi
multidimensi. Dalam kaitan
ini Bung Karno menyatakan
bahwa kita menghadapi
“A summing up
of many revolution
in one generation”.
Revolusi dalam
pandangan Bung Karno,
menurut penulis, bukan hanya perubahan
radikal saja, melainkan perubahan radikal yang evolusioner. Para
pendiri Republik seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir tampaknya sadar bahwa
perkembangan peradaban dunia yang dicapai pada pertengahan abad ke-20
adalah basil evolusi yang
revolusioner sejak Renaissance
di segala bidang kehidupan,
baik ilmu pengetahuan,
teknologi, ekonomi, dan
politik. Peradaban dunia modern
telah disumbang oleh
pemikir-pemikir seperti John
Lock, Rousseau Montesque, Thomas
Jefferson di bidang
sosial budaya politik,
Galileo, Copernikus, Issac Newton, Hertz, Maxwell, Einstein, dan banyak
pemikir dan penemu lainnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta Adam
Smith dan Marx di bidang ekonomi, yang hidup ratusan tahun sebelum Indonesia
merdeka. Bahkan jika dirunut lebih jauh
lagi, bisa sampai
pada periode Plato
atau Aristoteles, yang hidup
ribuan tahun sebelum Indonesia merdeka.
Sadar akan sifat perubahan secara
radikal evolusioner itulah, menurut pandangan saya, UUD 1945
Pasal 31 dan Pasal
32 menetapkan perlunya
diselenggarakan satu sistem pengajaran nasional dan kewajiban pemerintah memajukan kebudayaan nasional
Indonesia. Berangkat dari pemahaman ini, penulis memandang demikian strategic kedudukan sistem
pendidikan nasional dalam proses memajukan kebudayaan nasional sebagai fondasi perkembangan negara
kebangsaan Indonesia.
Dalam
kaitan dengan memajukan
kebudayaan nasional yang
wahananya adalah pendidikan nasional, penulis menganut pemahaman
kebudayaan sebagai “way of acting and ways of orienting” (Talcot Parson),[5]
atau “culture as the total and distinctive way of life of a people or
society”(Marshall Sahlin),[6]
atau dalam pengertin Mangunwijaya “kebudayaan sebagai seluruh
totalitas aktivitas serta
galaksi pengentalan seluruh
ikhtiar manusia untukmenjawab tantangan kehidupannya,
mengolahnya, dan memberi makna kepadanya, penyegaran dirinya secara integral,
baik dalam karya nyata maupun pembahasan simbolisnya”.[7]
Berangkat dari pemikiran ini penulis
berpegang pada pengertian kebudayaan nasional sebagai keseluruhan cara
memandang dan cara bertindak masyarakat bangsa Indonesia dalam menghadapi
tantangan baik politik, ekonomi, Iptek,
dan sosial budaya. Karena itu, dalam pengertian kebudayaan ini termasuk di dalamnya dimensi kognitif, ekspresif/afektif,
dan normatif.
II. Sistem Pendidikan dan
Upaya Memajukan Kebudayaan Nasional
Tampaknya banyak di antara kita yang
tidak menyadari bahwa sampai sekarang kita masih jauh dari berhasil dalam tugas mewujudkan suatu tata
kehidupan negara bangsa Indonesia yang merdeka,
modern, demokratis, berkeadilan
sosial, berke-Tuhan-an yang Maha Esa, dan menjunjung tinggi HAM.
Ken yataan yang kita
hadapi adalah suatu proses
transisi yang kurang jelas arah dan sasarannya, baik di bidang politik,
ekonomi, serta aspek sosial budaya
dan lainnya, baik
ilmu pengetahuan dan
teknologi maupun kebudayaan. Yang
terjadi sekarang ini bahkan adalah krisis multidimensi.
Sebagai pelajar pendidikan dan pengamat
perkembangan masyarakat negara, penulis memandang bahwa hal ini terjadi tidak lain karena
pendidikan yang kita selenggarakan belum bermakna sebagai transformasi budaya menuju mantapnya
kehidupan negara bangsa Indonesia.
Belum mantapnya sistem politik, belum
mapannya sistem ekonomi nasional, tetap rendahnya produktivitas dan etos kerja nasional, belum
adanya suatu pola budaya nasional yang
andal, dan rentan
solidaritas dan ketahanan
nasional, bukan karena
belum diadakannya berbagai lembaga politik atau belum tersedianya
infrastruktur politik seperti partai politik dan media pers, dan juga bukan
karena belum adanya lembaga-lembaga ekonomi
dan berbagai lembaga
kebudayaan lainnya seperti
lembaga riset dan
kajian, melainkan karena belum
tertanamnya di dalam
diri setiap warga
negara nilai-nilai budaya modern.
Ini terjadi, antara
lain, karena berbagai
ketentuan pendidikan yang dirancang untuk menyiapkan generasi muda
yang memiliki kemampuan,
nilai, dan s i k ap ya n g
d i p e rl u k a n b a gi k eh i d u p an d a l am
Ne ga ra b angsa Indonesia
yang modern, seperti tertuang
dalam UU No.
20 Tahun 2003
yang menetapkan satuan pendidikan sebagai
pusat pembudayaan, maupun
UU No. 2 Tahun 1989
tidak diupayakandalam proses pembelajaran maupun proses sosialisasi di
lembaga-lembaga pendidikan, baik sekolah maupun luar sekolah.
Mantapnya kehidupan politik maupun
ekonomi suatu bangsa ditentukan bukan semata-mata oleh
ada tidaknya lembaga-lembaga politik, lembaga-lembaga
ekonomi, dan lembaga kebudayaan lainnya,
melainkan oleh tingkat
terinternalisasinya nilai- nilai
budaya politik demokrasi dalam suatu
masyarakat bangsa. Hal ini telah diteliti oleh
para ilmuwan politik,
ekonomi, sosiologi, dan
antropologi. Robert Dahl (1998),[8] seorang ilmuwan politik,
mengidentifikasikan bahwa selama abad ke-20 terdapat 70 negara yang gagal
melaksanakan sistem politik demokrasi.
Menurut dia, terlaksananya sistem politik
demokrasi antara lain
ditentukan oleh ada
tidaknya “belief in democracy”, “weak cultural pluralism”, serta adanya
“modern society and economy”. Kesimpulan
tersebut sesungguhnya telah
ditemukan oleh Almond
dan Verba (1966) dalam studi perbandingan berbagai lima negara
demokrasi (Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis, dan Italia). Mereka menyimpulkan bahwa masalah
utama pelaksanaan sistem demokrasi
politik adalah masalah
sikap dan perasaan,
bukan masalah formalitas ideologi, yang intinya adalah masalah adanya
budaya politik yang serasi dengan politik
yang dianutnya. Tentang
gagalnya sistem politik
demokrasi, Almond dan Verba mengemukakan:[9]
“The complex infrastructure of the
democratic polity-political parties, interest group, and the
media of communication-and the
understanding of their
inner working operating norms,
and social psychological preconditions are only now being realized in the West.
Thus the image of democratic polity that is conveyed to the elites of the new
nations is obscure and incomplete and heavily stressed on ideology and legal
norms. Whatmust be learned about democracy is a matter of attitude and feeling,
and this is harder to learn.”
Berdasarkan pemikiran
para ahli tersebut
penulis memandang bahwa belum mantapnya pelaksanaan politik demokrasi
di Indonesia berakar pada belum membudayanya nilai-nilai budaya politik demokrasi dalam masyarakat Indonesia. Di samping
itu perlu disadari bahwa
instabilitas politik demokrasi
di Indonesia juga dipengaruhi
oleh masih belum majunya perkembangan
ekonomi Indonesia. Dalam
kaitan ini penulis
ingin menyajikan kesimpulan seorang
ahli sosiologi politik
terkemuka dari UC
Berkeley, S.M. Lipset, yang menyampaikan kesimpulannya dalam kalimat
berikut:
“From Aristotle down to the present,
men have argued that only in wealthy society in which relatively few citizens
lived in the level of real poverty could there be a situation in which the mass
of the population intelligently participate in politics and develop the self-
restraint necessary to avoid succumbing to the
appeals of irresponsible demagogues. A society divided between a large
improvised mass and a small favored elite result either in oligarchy (dictatorial
rule of small
upper stratum), or
tyranny (popular based dictatorial).[10]
Dalam pada itu, berbagai studi
menyimpulkan adanya pengaruh kebudayaan terhadap keberhasilan pembangunan
ekonomi, seperti yang
disajikan oleh Ronald
Inglehart dalam
Modernization and Post
Modernization. Dalam bukunya
ini, Inglehart menyampaikan pengertiannya tentang
kebudayaan yang mempengaruhi pembangunan ekonomi:[11]
“By culture, we refer to a sistem of
common basic values that help shape the behavior of the people in a given society. In most preindustrial
societies, this value sistem takes form of religion and change very slowly; but
with industrialization and accompanying processes of modernization, these world
views tend to become more secular, and open to change. For reasons discussed
earlier, the culture of virtually all preindustrial societies are hostile to
social mobility and individual economic accumulation.”
Prof. Koentjaraningrat pada 1969 telah
menyadarkan kita akan hal tersebut dalam karyanya Hambatan
Mental Pembangunan. Karena
itu penulis tambah
yakin betapa strategisnya pendidikan yang berfungsi mengembangkan
kemampuan dan menumbuhkan nilai dan sikap yang serasi dengan tuntutan pembangunan dan kehidupan
negara bangsa Indonesia yang modern.
Sejarah dunia
juga membuktikan bahwa
negaranegara kebangsaan di
dunia, yang kemudian menjadi negara maju seperti AS, Britania
Raya, Jerman, Perancis, dan Jepang,
adalah negara-negara yang
telah mendudukkan pendidikan
sebagai bagian terpadu dari
pembangunan bangsanya. Untuk
itu mereka sejak
awal pembangunan bangsa telah
mengalokasikan sekurangkurangnya 5 persen dari GDP untuk pendidikan.
Negara-negara yang penulis sebut di
atas, yang termasuk pemegang moto “to build nation build schools”,membatasi
pengertian sistem pendidikan pada sistem persekolahan. Bahkan UUD Jerman tidak
menyebut sistem pendidikan, melainkan school education: “the entire school education is under the
supervision of the state (Pasal 7 UUD Jerman). Sosiolog seperti Talcot Parson
dan Alex Inkeles pun ikut menyoroti peranan pendidikan dalam pembangunan bangsa
AS.”[12]
Karena
itu penulis akan
menganalisis mengapa sekolah
merupakan lembaga pendidikan yang paling strategis untuk membudayakan
berbagai kemampuan, nilai, dan sikap.
III. Sekolah/Satuan Pendidikan
Sebagai Pusat Pembudayaan
Sekolah sebagai
lembaga pendidikan yang
bersifat massal, sebagai
lembaga sosial, muncul bersamaan
dengan proses industrialisasi yang
mengakibatkan terjadinya urbanisasi,
vokasionalisasi,
spesialisasi, serta mendorong
orangtua meninggalkan anak untuk bekerja. Akibatnya, orangtua tidak
memiliki waktu untuk mendidik anakanaknya. Karena itulah diperlukan suatu
lembaga pendidikan yang khusus
menyiapkan generasi muda untuk menghadapi
tuntutan baru masyarakat
modern. Untuk keperluan
itulah sekolah didirikan. Sekolah
yang dimaksud di
sini adalah seperti
yang dianut oleh Yehudi A. Cohen, seorang antropolog:
“By a school I mean an institution
devoted to instruction, with specialized personnel, permanent physical
structure, special apparatus (of
which text are important
part), formal and stereotyped means of instruction, a curriculum, and
rationally defined manifest objectives”.[13]
Sesungguhnya secara formal
sekolah-sekolah kita telah memenuhi syarat seperti yang dimaksudkan oleh Cohen,
yaitu adanya tenaga khusus (guru), gedung permanen, perlengkapan belajar, metode pembelajaran, perangkat kurikulum, dan
tujuan-tujuan pendidikan yang harus
dicapai. Namun mengapa lembaga pendidikan sekolah kita, yang secara formal
telah memenuhi syarat, dalam kenyataan belum mampu melaksanakan fungsinya
seperti yang terjadi di AS, Inggris, dan Jerman? Jawabannya: pertama, setiap
elemen sekolah yang disebut
kondisinya jauh dari
standar. Jaminan kesejahteraan seorang
guru agar dapat berkonsentrasi melakukan fungsinya
sebagai pengajar dan pendidik belum sepenuhnya memadai. Dalam hal fasilitas
gedung sekolah, pada umumnya gedung sekolah kita hanya berupa ruang kelas tanpa halaman, tanpa lapangan
olahraga, tanpa ruang perpustakaan, serta tanpa ruang kerja guru. Dalam hal sumber belajar, buku pelajaran
sangat terbatas, laboratorium baik IPA maupun bahasa umumnya tidak ada atau
tidak difungsikan, kebun botani tidak ada. Dalam hal metode
pembelajaran, kondisinya sangat
tradisonal karena tidak
ada penunjang. Kurikulum sangat
sarat materi yang tidak mengutamakan
yang esensial, fungsional, dan relevan. Sedangkan dalam hal tujuan yang harus
dicapai, antara yang seharusnya dan dalam praktik jaraknya demikian jauh.
Bandingkan tujuan pendidikan dasar seperti
yang tercantum dalam Pasal 13 Ayat (1) yang berbunyi:
“Pendidikan dasar
diselenggarakan untuk mengembangkan
sikap dan kemampuan
serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar untuk dapat hidup
dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi
persyaratan untuk mengikuti
pendidikan menengah.”
Dan pendidikan menengah, dalam Pasal
15 Ayat (1), berbunyi:
“Pendidikan menengah diselenggarakan
untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan
peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan
mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam
sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja
atau pendidikan tinggi.”
Apalagi jika kita membaca ketentuan
pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 yang tertulis
“Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Karena itu ukuran keberhasilan seorang
lulusan menggunakan Ebtanas atau UAN, semuanya hanya terbatas pada dimensi
tertentu dari ranah kognitif, sukar untuk dapat mendukung tercapainya fungsi
dan tujuan pendidikan nasional.
Dari kajian di atas jelaslah betapa
sekolah yang kedudukannya sangat strategis sampai sekarang belum dapat
berfungsi secara optimal untuk menyiapkan generasi muda yang memiliki
kemampuan, nilai, dan sikap yang dituntut oleh masyarakat Indonesia yang sedang
membangun kehidupan negara bangsa
modern. Dengan kata lain, kalau sekolah- sekolah kita tetap dalam kondisi
demikian, sukar diharapkan bahwa fungsinya yang strategis dapat terlaksana.
Padahal UU No. 20 Tahun 2003 telah
menetapkan 8 standar dan PP 19 Tahun 2005 telah menetapkan standar
tersebut tetapi sampai tahun 2012 mayoritas sekolah kita belum cukup memenuhi standar yang ditetapkan. Kelima
elemen sekolah yang ideal pun tidak dengan sendirinya dapat bermakna tanpa
dirancang suatu strategi
pembelajaran yang relevan dengan tujuan dan fungsi pendidikan sekolah.
Pertanyaan yang selanjutnya yang akan diulas adalah bagaimana melaksanakan
pendidikan IPS yang dapat mendukung proses memajukan kebudayaan nasional?
bagian berikut akan berusaha menganalisisnya.
IV. Peranan Pendidikan IPS dalam
Menunjang Proses Memajukan Kebudayaan Nasional
Seperti telah disinggung pada bagian
terdahulu bahwa salah satu misi penyelenggaraan pemeerintahan negara adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa suatu misi yang menurut penulis bermakna proses
transformasi budaya dari budaya tradisional menjadi budaya modern baik politik,
ekonomi, dan IPTEK, dan dari feodal ke demokratik. Dan untuk dapat
terlaksananya proses transformasi budaya tersebut pendiri republik menetapkan
kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional dan
memajukan kebudayaan nasional. Karena itu, seperti digariskan dalam UU No. 20
Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sekolah ditetapkan sebagai pusat
pembudayaan. Ini berarti bahwa setiap mata pelajaran/mata kuliah berperan
sebagai wahana untuk membudayakan kemampuan nilai, dan sikap, yang secara
keseluruhan adalan nilai budaya. Dalam kaitan ini jelaslah bahwa Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) yang meliputi
Sosiologi, Antropologi, Politik, Ekonomi, dan Sejarah harus berperan memajukan
kebudayaan yang meliputi budaya politik
demokrasi, budaya ekonomi dan budaya IPTEK, disamping nilai-nilai moral.
yang menjadi peranan adalah model
pembelajaran seperti yang dapat bermakna proses pembudayaan? Jelas bukan model
pembelajaran yang hanya mendengar, mencatat, dan mengingat dengan diakhiri
ulangan/ujian dalam bentuk pilihan ganda.
Perlu diketahui IPS adalah wilayah
ilmu empiris[14], satuan wilayah ilmu yang teori concept dan generalisasinya
didasarkan atas observasi , dan eksperimen untuk sampai kepada kesimpulan.
Karena itu sebagai obyek belajar peserta didik perlu menghayati proses sampai
suatu konsep atau teori ditemukan ,dan bukan langsung menghafal teori. Dalam
hubungan ini Philip Phenix menyatakan dalam kalimat berikut:
“It is more important for the student
to become skillful in the ways of knowing than to learn about any particular
product of investigation. Knowledge of methods makes it possible for a person
to continue learning and undertake inquiries on his own.”‘
Dari kalimat itu jelas bahwa kalau
hanya menghafal konsep peserta didik tidak akan meningkat keingintahuannya.
Untuk itu memasuki abad ke-21. UNESCO merekomendasikan ditetapkannya empat
pilar belajar learning to know, learning to do learning to live together,
learning to be[15].
Proses pembelajaran learning to know
adalah proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik/mahasiswa menguasai
teknik memperoleh pengetahuan, dan bukan hanya meneperoleh pengetahuan dalam
bahasa Israel Scheffer pilar ini hakekatnya terkait dengan relevansi
epistemologi suatu metode pembelajaran yang memungkinkan peserta didik terlibat
dalam proses meneliti dan mengkaji dalam lengkap Israel Scheffer seperti
dikutip dibawah ini.
Epistemological relevance in short
requires us to reject both myth and mystic union. It requires not contact but
criticism, not immersion in the phenomenal and conceptual given, but the
flexibility of mind capable of transcending, reordering, and expanding the
given. ‘An education that fosters criticism and conceptual flexibility
transcends its environment and by erecting a mythical substitue for this world
but rather striving for a systematic and penetrating comprehension of it.”[16]
Selanjutnya dia menguraikan pengkajian
dalam kali¬mat berikut:
“Theoretical inquiry, independently
pursued has the most powerful potential for the analysis and transformation of
practice. The bearing of inquiry upon practice is moreover of the greatest
educational interest. Such interest is not, contrary to recent emphases,
exhausted in a concern for inquiry within the structure of several disciplines.
Students should be encouraged to employ the information and technique of
disciplines in analysis, criticism, and alteration of their practical outlook.
Habits of practical diagnosis, critique and execution upon responsible inquiry
need the supplement theoretical attitude and disciplinary proficiencies in the
training of the young.”[17]
Sengaja penulis mengutip pandangan
Scheffler de¬mikian panjang karena dari sudut pandang pendidikan tinggi,
pandangannya tentang relevansi pendidikan sangat terkait dengan learning to
know pada tingkat pendidikan tinggi. Seperti halnya Phenix, Scheffler memandang
pen¬tingnya pilar learning to know untuk berangkat dari disiplin ilmu
pengetahuan, karena bagi mereka mode of inquiry disiplin ilmu adalah bentuk
yang paling tertinggi dari berpikir. Dalam kaitan ini dia menyatakan:
Proses pembelajaran pilar kedua
learning to dobagaimana dengan pilar kedua learning to dolKalau pilar pertama,
learning to know, sasarannya adalah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
sehingga tercapai keseimbangan dalam penguasaan Iptek di antara negara-negara
di dunia, sasaran pilar kedua adalah kemampuan kerja generasi muda untuk
mendukung dan memasuki ekonomi industri. Dalam masyarakat industri atau ekonomi
industri tuntutan tidak lagi cukup dengan penguasaan keterampilan motorik yang
kaku melainkan diperlukan kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan pekerjaan seperti controlling, monitoring,
maintaining, designing, organizing, yang dengan kemajuan teknologi pekerjaan
yang sifatnya fisik telah diganti dengan mesin. Dengan kata lain, menyiapkan
anggota masyarakat me¬masuki dunia kerja yang dalamtechnology knowledge based
economy, belajar melakukan sesuatu dalam situasi yang konkrit yang tidak hanya
terbatas pada penguasaan keterampilan yang mekanistis, melainkan meliputi
ke¬mampuan berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain, serta mengelola dan
mengatasi konflik.
Dalam kaitan dengan learning to do
perlu dikaitkan dengan pandangan Scheffler tentang relevansi psikologis maupun
doktrin Whitehead tentang hakikat pendidikan sebagai upaya penguasaan seni
menggunakan pengetahu¬an. Ini berarti pula bahwa untuk melahirkan generasi baru
yang intelligent dalam bekerja, pengembangan kemampuan memecahkan masalah dan
berinovasi sangatlah diperlukan. Dalam kaitan ini, ada baiknya penulis
kutip¬kan pandangan Scheffler tentang relevansi psikologis:
“Thought according to widely prevalent
doctrine is problem oriented. It originates in doubt, conflict, and difficulty.
The functions is to overcome obstacles to the smooth flow of human activities.
When action is coherent and well adapted to its circumstances, human energy is
released into overt channel set by habit and custom. The blocking of conduct
either through internal conflict on environment hidrance, turns its energy
inward, trans¬forming its into thought.”[18]
Dalam kaitan ini, pada tingkat
pendidikan tinggi, meng¬andung makna atau berimplikasi tentang perlunya
pen¬didikan profesional yang bermuara pada paradigma peme¬cahan masalah, yang
memungkinkan seorang mahasiswa mengintegrasikan pemahanan konsep serta
penguasaan keterampilan teknis dan intelektual guna memecahkan masalah dan
dapat berlanjut pada inovasi dan improvisasi.
Proses pembelajaran pilar ketiga
learning to live togetherkemajuan di bidang Iptek dan ekonomi yang meng¬ubah
dunia menjadi desa global ternyata tidak menghapus konflik antaramanusia. Yang
terjadi akhir-akhir ini bah¬kan sebaliknya, yaitu terjadinya konflik
antarmanusia yang didasarkan pada prasangka, baik antarras, antar¬suku,
antar-agama dan antar-si kaya dan si miskin, dan antarnegara. Padahal sejak
berakhirnya Perang Dunia II, berbagai deklarasi telah dijadikan dasar penyelesaian
r konflik, seperti Deklarasi HAM dan Piagam PBB. Bangsa kita sendiri memiliki
landasan Pancasila yang hakikatnya adalah membangun negara kebangsaan yang
demokratis, berkeadilan sosial, ber-Ketuhanan yang Maha Esa, dan menggalang
persatuan dan persaudaraan bukan hanya antarwarga bangsa, melainkan dengan
seluruh umat manusia seperti dinyatakan dalam kalimat “ketertiban dunia yang
didasarkan kemerdekaan, keadilan sosial dan perdamaian abadi”. Komisi
Internasional untuk Pendidikan Abad ke-21 mengakui sulitnya menciptakan
kerukunan, toleransi dan saling pengertian, serta bebas dari prasangka.
“It is difficult task, since people
very naturally tend overvalue their own qualities and those of their group and
to harbour prejudices against others. Furthermore, the general climate of
competition that is at present characteristic of economic activity, within and
above all between nations, tends to give priority to the competitive spirit and
individual success. Such competition now amounts to ruthless economic warfare
and to a tension between rich and poor that is dividing nations and the world,
and exacerbating historic rivalries.”[19]
Latar belakang kenyataan dalam
masyarakat yang digambarkan oleh komisi di atas menuntut pendidikan tidak hanya
membekali generasi muda untuk menguasai Iptek dan kemampuan bekerj a serta
memecahkan masalah, melainkan kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain
yang berbeda dengan penuh toleransi, pengertian, dan tanpa prasangka. Dalam
kaitan ini adalah tugas pendidikan untuk pada saat yang sama memberi peserta
didik pengetahuan dan kesadaran bahwa hakikat manusia adalah beragam, namun
dalam keragaman itu terdapat persamaan.
Pendidikan untuk mencapai tingkat
kesadaran akan persamaan antarmanusia dan saling ketergantungan tidak dapat
ditempuh lewat pendidikan dengan pendekatan tradisional. Dalam hubungan ini,
prinsip relevansi sosial dan moral yang disarankan oleh Israel Scheffler sangat
memadai. Suatu prinsip yang memerlukan suasana belajar yang secara inherently
mengandung nilai-nilai toleransi saling bergantung, kerjasama, dan tenggang
rasa. Ini diperlukan proses pembelajaran yang menuntut kerjasama untuk mencapai
tujuan bersama. Kegiatancamping yang berlangsung mingguan dengan sasaran
bersama yang harus dicapai oleh seluruh peserta merupakan salah satu model
gperlu ditempuhl Model sekolah berasrama dan kampus, yang merupakan kawasan
tersendiri, merupakan pendekatan yang ditempuh Inggris dan AS dalam mem¬bangun
bangsa yang bersatu. Kiranya bangsa Indonesia perlu belajar dari negara lain.
Proses pembelajaran pilar keempat
learning to be
Tiga pilar pertama ditujukan bagi
lahirnya generasi muda yang mampu mencari informasi dan/atau mene-mukan ilmu
pengetahuan dan mampu memecahkan masa¬lah, mampu bekerjasama, bertenggang rasa,
dan toleran terhadap perbedaan. Hasil akhirnya adalah manusia yang mampu
mengenal dirinya, yang dalam bahasa UU No. 2 Tahun 1989 adalah manusia yang
berkepribadian mantap dan mandiri. Manusia utuh yang memiliki kemantapan
emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yangdapat mengendalikan
dirinya, yang konsisten dan yang memiliki rasa empati (tepo seliro), atau dalam
kamus psikologi disebut memiliki emotional intelligence. Inilah kurang lebih
makna learning to be, yaitu menjadi muara akhir tiga pilar belajar.
Bila model pembelajaran IPS menempuh
empat pilar belajar tersebut muatan kurikulum haruslah selektif. Untuk itu
disarankan pokok materi yang dipilih haruslah memenuhi kriteria berikut:
1. Bahan
pelajaran harus diambil dari discplined of inquiry;
2. Bahan
pelajaran harus diambil dari konsep-konsep utama suatu disiplin;
3. Bahan
pelajaran mengutamakan mode of inquiry;
4. Bahan
pelajaran harus dapat mendorong peserta didik berfikir imajinatif.
Pelaksanakan empat pilar belajar
tersebut tidak akan bermakna tanpa didukung oleh sistem evaluasi yang
komprehensif terus menerus dan obyektif.
V.
Beberapa Catatan Penutup
Dari serangkaian ulasan terdahulu
dapatlah ditarik beberapa catatan berikut:
1. Bahwa
pendidikan nasional dirancang diselenggarakan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dan memajukan kebudayaan nasional.
2. Bahwa
makna mencerdaskan kehidupan bangsa adalah melakukan transformasi budaya dari
tradisional ke modern, dan dari feodal ke demokratis.
3. Bahwa
sekolah dirancang untuk menjadi wahana atau pusat pembudayaan yaitu
membudayakan kemampuan nilai dan sikap.
4. Bahwa
IPS sebagai mata pelajaran/mata kuliah dalam satuan pendidikan (sekolah IPS)
harus dirancang untuk menjadi wahana proses pembudayaan.
5. Bahwa
agar IPS dan PAT secara relevan dan efektif dapat menjadi wahana pembudayaan
perlu diterapkan model pembelajaran yang menetapkan empat pilar belajar dan
sistem evaluasi yang komprehensif, terus menerus, dan obyektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar