ammarafsanjani.blogspot.com

Get Free Music at www.divine-music.info
Get Free Music at www.divine-music.info

Free Music at divine-music.info

Kamis, 30 Mei 2013

PENGALAMAN SAAT NAIK TRANSPORTASI UMUM

"kriiiiiiiiiiiiiiiiiiinggg", weker di kamar saya bersamaan dengan kumandang azan subuh,, mata saya terbuka seketika seolah sudah di latih untuk terbangun dan menunaikan sholat subuh untuk kemudian melanjutkan aktifitas hari itu. Tanggal 12 mei 2013 , yang kebetulan tepat jatuh pada hari minggu itu saya pergunakan untuk berwisata kuliner bersama salah satu teman dekat saya..

Nurul dan saya berencana berputar-putar mengelilingi depok demi mencari kuliner yang kami ingin santap saat itu dengan menumpang angkutan umum (angkot) 04 jurusan pasar minggu-depok. Kami berdua memulai perjalanan dari tanjung barat untuk kemudian menuju ketujuan yang kami inginkan. Pempek yang terkenal memiliki rasa yahud itu kebetulan kami ketahui ada di depok , dengan rasa penasaran dan tidak sabar untuk menyicipi pempek spesial tersebut kami berdua lalu memutuskan untuk kesana walau hari itu cuaca sedang tak bersahabat , langit berwajah sendu dan seolah-olah mau menumpahkan tangisanya ke bumi.

Pukul 12.00 WIB, nurul dan saya sampai di tempat tujuan dengan wajah yang sumringah seperti anak TK yang sudah terlihat sangat penasaran untuk membuka sebuah kado yang di berikan orang tuanya. Saya dan nurul memang sama-sama suka dengan makanan khas palembang ini, lalu tanpa membuang-buang waktu lagi kami berdua langsung menyantap pempek yang saat itu sudah di hidangkan untuk kami. Langit saat itu berubah wajahnya menjadi cerah saat saya dan nurul sudah selesai berkuliner. Waktu sudah menunjukan pukul 13.30 WIB, nurul mengajak saya pulang  tentunya dengan menaiki angkot yang bertujuan sama yang sudah kami tumpangi sebelumnya. Angkot 04 itu tepat berhenti di depan kami setelah nurul sudah memanggilnya dengan juluran tangan yang sepertinya sudah lihai  melambai menyetopi angkot.

kala itu di angkot yang kami ingin tumpangi untuk kembali ke rumah sudah cukup sesak keadaanya dan mungkin boleh di bilang sangat sesak,setelah kami berdua duduk memenuhi celah-celah kosong yang ada di dalamnya,sepertinya aroma parfum juga bau keringat dari masing-masing orang yang sudah bercampur di dalamnya saat itu sangat mengusik kenyamanan kami berdua, buktinya nurul yang duduk di depan saya tak pernah memmindahkan tisu yang sedaritadi sudah menutupihidungnya. saya menyeringai sesaat melihat tingak nurul saat itu,"ya namanya juga wanita" , itulah yang dilakukanya.

Tak disangka setelah di angkot yang kami tumpangi sudah dekat stasiun lenteng agung tiba-tiba ada seorang laki-laki paruh baya yang mengajak berbincang anak SMA yang sedang memegang telfon genggamnya untuk sekedar menanyakan "jam berapa?".Dan setelah itu banyak perbincangan yang saya rasa cukup janggal di antara merka berdua, sampai akhirnya lelaki paruh baya mengetuk bagian atas angkot lalu turun di depan pom bensin dengan tergesa-gesa.
Benar saja , lelaki tadi sudah melakukanya. Ya, tentu saja lelaki itu sudah menghipnotis anak SMA tadi , saat itu nurul terkejut ketika menyadari peristiwa di angkot dan seketika membuka tisu penutup hidungnya tanpa mempedulikan aroma-aroma aneh yang menyergap. Saya hanya bisa terdiam melihat peristiwa itu. Dan 1 hal yang perlu di waspadai bila ingin naik transportasi umum adalah berusaha tidak menonjolkan barang-barang berharga yang kita miliki agar terhindar dari modus kejahatan apapun. Telfon genggan anak itu raib di bawa lelaki paruh baya tadi, pukul 14.20 WIB akhirnya kami berdua sampai tujuan dengan selamat dan tentunya membawa pengalaman yang sangat berharga .tentunya pengalaman yang tak pernah terlupakan sampai kini untuk saya dan teman dekat saya nurul.

UPAYA UNTUK MEMBANGUN KETAHANAN NASIONAL

Kalau kita cermati tonggak-tonggak sejarah pergerakan nasional dari Kebangkitan Nasional,  Sumpah  Pemuda  sampai  Proklamasi  Kemerdekaan  hakekatnya  adalah  upaya membangun kebudayaan  nasional Indonesia baru penghuni Nusantara yang sejak runtuhnya Imperium Majapahit yang terbelah menjadi  ratusan  kerajaan  sehingga  dengan  mudah dikuasai  oleh  kekuasaan  asing,  bahkan  hanya   kekuatan  organisasi  perdagangan,  para pemimpin  pergerakan  nasional  dan  para  pendiri  republik  dari Wahidin Sudiro Husodo dan R.A. Kartini sampai Soekarno dan Hatta, yang  menjadi cerdas  karena “pendidikan sekolah”, akhirnya menetapkan bahwa mencerdaskan kehidupan  bangsa dan memajukan kebudayaan nasional adalah tujuan utama perjuangan dan pembangunan bangsa. Dan   untuk  mendukung  proses  mencerdaskan  kehidupan  bangsa  yang  dalam  deklarasi kemerdekaan  (Pembukaan UUD 1945) ditetapkan sebagai salah satu misi penyelenggaraan Negara, para pendiri repubik  melalui pasal 31 UUD 1945 mewajibkan pemerintah untuk “mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional” (sistem pendidikan nasional)  serta  memajukan kebudayaan nasional  (pasal  32   UUD  1945).  Atas  dasar pemahaman penulis hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan kebudayaan (peradaban) nasional, memilih pokok bahan  tentang peranan pendidikan IPS dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional, dan melestarikan kebudayaan nasional. Untuk itu tulisan ini akan berturut-turut membahas (1) makna mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional; (2) penyeleggaraan pendidikan nasional untuk memajukan kebudayaan nasional; (3) sekolah satuan pendidikan sebagai pusat pembudayaan; (4) kedudukan IPS  dalam menunjang tercapainya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional; dan (5) catatan penutup.

   I.      Makna Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Memajukan Kebudayaan Nasional

Kalau kita simak kondisi masyarakat dunia setelah berakhirnya Perang Dunia ke II, tampak betapa dunia, baik di bidang politik, ekonomi, perdagangan dunia, teknologi, dan hubungan politik  internasional  sepenuhnya dilandasi oleh peradaban yang dalam bahasa St. Takdir Alisahbana sebagai “kebudayaan modern yang rasional, berdasarkan kemajuan ilmu, teknologi, dan yang menekankan hak-hak  manusia dan sebagainya”[2]  Dalam menghadapi dunia yang sepenuhnya dikuasai oleh kebudayaan modern,  yang hakekatnya berakar dari budaya Helenik empat abad sebelum masehi dan berkembang pesat sejak  Renaissance, baru sebagian kecil anggota masyarakat Indonesia yang mengenal, menguasai, dan menghayatibudaya tersebut. Pada periode sebelum pendudukan Jepang, jumlah orang Indonesia yang mengikuti pendidikan yang sepenuhnya berlandaskan kebudayaan modern sangatlah terbatas. Pada  1940,  jumlah  anak   Indonesia   yang   masuk   sekolah   dasar   yang   sepenuhnya berorientasi pada kebudayaan modern hanyalah 93.416 orang (HIS dan HCS), 4.034 ELS, 8.235 orang siswa S M P  (MULO), sedangkan pada tingkat sekolah menengah 922 orang siswa AMS, 552 orang siswa HBS, 206 orang siswa gymnasium (lycea),  sedangkan jumlah mahasiswa hanyalah 157 orang.[3]  Di samping itu menurut catatan Bruce Glassburner,[4]  pada 1949, empat tahun setelah merdeka, Indonesia baru memiliki 35 orang insinyur, 1.200 dokter, 150 dokter gigi, dua orang ekonom bergelar doktor dan seorang fisikawan. Ini adalah akibat sedikitnya jumlah orang  Indonesia yang dapat mengikuti pendidikan tinggi. Pada 1940  hanya  ada  37  orang  Indonesia  yang  lulus  perguruan  tinggi.  Indonesia  baru mengenal     perguruan tinggi pada 1920, yaitu dengan berdirinya Technische Hoogeschool, dan itu pun kesempatan bagi orang Indonesia sangat terbatas. Sementara itu universitas tertua telah berdiri pada abad ke-11 dan 12 (di Bologna dan Paris).
Di dunia politik, dengan UUD 1945 kita menganut sistem demokrasi dalam susunan negara yang  berbentuk Republik, suatu tatanan penyelenggaraan negara yang belum pernah dialami oleh rakyat bangsa Indonesia, bahkan oleh para penyusun konsep sistem politik itu sendiri. Dalam administrasi  penyelenggaraan  negara  dan  pengelolaan  modal  serta  perdagangan, apalagi dalam dunia industri, hanya sebagian kecil rakyat Indonesia yang terlibat, itu pun bukan pada tingkatan manajer, melainkan umumnya pada tingkat pelaksanaan. Di dunia pertanian, sebagain rakyat bangsa Indonesia adalah petani tradisional
Melihat  perkembangan  Indonesia  pada  saat  proklamasi  dan  tatanan  dunia  yang dihadapi oleh Indonesia yang baru merdeka, menurut pandangan penulis, telah mendorong para pendiri Republik  menempatkan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan kemerdekaan  kebangsaan  Indonesia.   Maknanya  adalah  membawa  masyarakat  bangsa Indonesia menuju masyarakat modern abad ke-20.
Membawa  masyarakat  Indonesia  menuju  masyarakat  modern,  dalam  pandangan penulis,  adalah   suatu  transformasi   budaya.   Bahkan   lebih   daripada   itu,   Presiden Soekarno  memandangnya  sebagai  suatu  revolusi  multidimensi.  Dalam  kaitan  ini  Bung Karno  menyatakan  bahwa  kita  menghadapi  “A  summing  up  of  many  revolution  in  one generation”.
Revolusi  dalam  pandangan  Bung  Karno,  menurut penulis, bukan  hanya  perubahan  radikal  saja, melainkan  perubahan radikal yang evolusioner. Para pendiri Republik seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir tampaknya sadar bahwa perkembangan peradaban dunia yang dicapai pada pertengahan  abad ke-20  adalah basil  evolusi  yang  revolusioner  sejak  Renaissance  di segala  bidang  kehidupan,  baik  ilmu  pengetahuan,  teknologi,  ekonomi,  dan  politik. Peradaban  dunia  modern  telah  disumbang  oleh  pemikir-pemikir  seperti  John  Lock, Rousseau  Montesque,  Thomas  Jefferson  di  bidang  sosial  budaya  politik,   Galileo, Copernikus, Issac Newton, Hertz, Maxwell, Einstein, dan banyak pemikir dan penemu lainnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta Adam Smith dan Marx di bidang ekonomi, yang hidup ratusan tahun sebelum Indonesia merdeka. Bahkan jika dirunut lebih jauh  lagi,  bisa  sampai  pada  periode  Plato  atau  Aristoteles, yang hidup ribuan tahun sebelum Indonesia merdeka.
Sadar akan sifat perubahan secara radikal evolusioner itulah, menurut pandangan saya, UUD  1945  Pasal  31  dan Pasal  32  menetapkan  perlunya  diselenggarakan  satu  sistem pengajaran nasional dan  kewajiban pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Berangkat dari pemahaman ini, penulis  memandang demikian strategic kedudukan sistem pendidikan nasional dalam proses memajukan kebudayaan  nasional sebagai fondasi perkembangan negara kebangsaan Indonesia.
Dalam  kaitan  dengan  memajukan  kebudayaan  nasional  yang  wahananya  adalah pendidikan  nasional, penulis menganut pemahaman kebudayaan sebagai “way of acting and ways of orienting” (Talcot Parson),[5] atau “culture as the total and distinctive way of life of a  people or  society”(Marshall Sahlin),[6]   atau dalam pengertin Mangunwijaya “kebudayaan sebagai  seluruh  totalitas  aktivitas  serta  galaksi  pengentalan  seluruh  ikhtiar  manusia  untukmenjawab tantangan kehidupannya, mengolahnya, dan memberi makna kepadanya, penyegaran dirinya secara integral, baik dalam karya nyata maupun pembahasan simbolisnya”.[7]
Berangkat dari pemikiran ini penulis berpegang pada pengertian kebudayaan nasional sebagai keseluruhan cara memandang dan cara bertindak masyarakat bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan  baik politik, ekonomi, Iptek, dan sosial budaya. Karena itu, dalam pengertian kebudayaan ini termasuk di  dalamnya dimensi kognitif, ekspresif/afektif, dan normatif.

    II.      Sistem Pendidikan dan Upaya Memajukan Kebudayaan Nasional

Tampaknya banyak di antara kita yang tidak menyadari bahwa sampai sekarang kita masih jauh dari  berhasil dalam tugas mewujudkan suatu tata kehidupan negara bangsa Indonesia yang merdeka,  modern,  demokratis, berkeadilan sosial, berke-Tuhan-an yang Maha Esa, dan menjunjung tinggi  HAM.  Ken yataan  yang  kita  hadapi  adalah suatu proses transisi yang kurang jelas arah dan sasarannya, baik di bidang politik, ekonomi, serta aspek  sosial  budaya  dan  lainnya,  baik  ilmu  pengetahuan  dan   teknologi  maupun kebudayaan. Yang terjadi sekarang ini bahkan adalah krisis multidimensi.
Sebagai pelajar pendidikan dan pengamat perkembangan masyarakat negara, penulis memandang  bahwa hal ini terjadi tidak lain karena pendidikan yang kita selenggarakan belum bermakna sebagai  transformasi budaya menuju mantapnya kehidupan negara bangsa Indonesia.
Belum mantapnya sistem politik, belum mapannya sistem ekonomi nasional, tetap rendahnya  produktivitas dan etos kerja nasional, belum adanya suatu pola budaya nasional yang  andal,   dan   rentan   solidaritas   dan   ketahanan  nasional,   bukan  karena   belum diadakannya berbagai lembaga politik atau belum tersedianya infrastruktur politik seperti partai politik dan media pers, dan juga bukan karena belum adanya lembaga-lembaga ekonomi  dan  berbagai  lembaga  kebudayaan  lainnya  seperti  lembaga  riset  dan  kajian, melainkan  karena  belum  tertanamnya  di  dalam  diri  setiap  warga  negara  nilai-nilai budaya  modern.  Ini  terjadi,  antara  lain,  karena  berbagai  ketentuan  pendidikan  yang dirancang untuk menyiapkan generasi  muda  yang  memiliki  kemampuan,  nilai,  dan s i k ap  ya n g  d i p e rl u k a n  b a gi  k eh i d u p an  d a l am  Ne ga ra  b angsa  Indonesia  yang modern,  seperti  tertuang  dalam  UU  No.  20  Tahun  2003  yang  menetapkan  satuan pendidikan  sebagai  pusat  pembudayaan,  maupun  UU  No.  2  Tahun  1989   tidak diupayakandalam proses pembelajaran maupun proses sosialisasi di lembaga-lembaga pendidikan, baik sekolah maupun luar sekolah.
Mantapnya kehidupan politik maupun ekonomi suatu bangsa ditentukan bukan semata-mata  oleh  ada  tidaknya  lembaga-lembaga politik, lembaga-lembaga ekonomi, dan lembaga  kebudayaan  lainnya,  melainkan  oleh  tingkat  terinternalisasinya  nilai- nilai budaya politik demokrasi dalam  suatu masyarakat bangsa. Hal ini telah diteliti oleh  para  ilmuwan  politik,  ekonomi,  sosiologi,  dan  antropologi.  Robert Dahl  (1998),[8] seorang ilmuwan politik, mengidentifikasikan bahwa selama abad ke-20 terdapat 70 negara yang gagal melaksanakan sistem politik demokrasi.           Menurut dia, terlaksananya  sistem  politik  demokrasi  antara  lain  ditentukan  oleh  ada  tidaknya “belief in democracy”, “weak cultural pluralism”, serta adanya “modern society and economy”. Kesimpulan  tersebut  sesungguhnya  telah  ditemukan  oleh  Almond  dan  Verba (1966) dalam  studi perbandingan berbagai lima negara demokrasi (Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis, dan  Italia). Mereka menyimpulkan bahwa masalah utama pelaksanaan  sistem  demokrasi  politik  adalah  masalah  sikap  dan  perasaan,  bukan masalah formalitas ideologi, yang intinya adalah masalah adanya budaya politik yang serasi  dengan  politik  yang  dianutnya.  Tentang  gagalnya  sistem  politik  demokrasi, Almond dan Verba mengemukakan:[9]

“The complex infrastructure of the democratic polity-political parties, interest group, and  the  media  of  communication-and  the  understanding  of  their  inner  working operating norms, and social psychological preconditions are only now being realized in the West. Thus the image of democratic polity that is conveyed to the elites of the new nations is obscure and incomplete and heavily stressed on ideology and legal norms. Whatmust be learned about democracy is a matter of attitude and feeling, and this is harder to learn.”
Berdasarkan  pemikiran  para  ahli  tersebut  penulis  memandang bahwa  belum mantapnya pelaksanaan politik demokrasi di Indonesia berakar pada belum membudayanya nilai-nilai budaya politik  demokrasi dalam masyarakat Indonesia. Di samping itu perlu disadari  bahwa instabilitas  politik  demokrasi  di  Indonesia juga dipengaruhi oleh masih belum  majunya  perkembangan  ekonomi  Indonesia.   Dalam  kaitan  ini  penulis  ingin menyajikan  kesimpulan  seorang  ahli  sosiologi  politik  terkemuka  dari  UC  Berkeley, S.M. Lipset, yang menyampaikan kesimpulannya dalam kalimat berikut:
“From Aristotle down to the present, men have argued that only in wealthy society in which relatively few citizens lived in the level of real poverty could there be a situation in which the mass of the population intelligently participate in politics and develop the self- restraint necessary to avoid succumbing to the  appeals of irresponsible demagogues. A society divided between a large improvised mass and a small favored elite result either in oligarchy  (dictatorial  rule  of  small  upper  stratum),  or  tyranny  (popular  based dictatorial).[10]
Dalam pada itu, berbagai studi menyimpulkan adanya pengaruh kebudayaan terhadap keberhasilan  pembangunan  ekonomi,  seperti  yang  disajikan  oleh  Ronald  Inglehart  dalam Modernization   and   Post   Modernization.   Dalam   bukunya   ini,   Inglehart   menyampaikan pengertiannya tentang kebudayaan yang mempengaruhi pembangunan ekonomi:[11]
“By culture, we refer to a sistem of common basic values that help shape the behavior of the people in a  given society. In most preindustrial societies, this value sistem takes form of religion and change very slowly; but with industrialization and accompanying processes of modernization, these world views tend to become more secular, and open to change. For reasons discussed earlier, the culture of virtually all preindustrial societies are hostile to social mobility and individual economic accumulation.”
Prof. Koentjaraningrat pada 1969 telah menyadarkan kita akan hal tersebut dalam karyanya  Hambatan  Mental  Pembangunan.  Karena  itu  penulis  tambah  yakin  betapa strategisnya  pendidikan yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan menumbuhkan nilai dan sikap yang serasi  dengan tuntutan pembangunan dan kehidupan negara bangsa Indonesia yang modern.
Sejarah  dunia  juga  membuktikan  bahwa  negaranegara  kebangsaan  di  dunia, yang  kemudian  menjadi negara maju seperti AS, Britania Raya, Jerman, Perancis, dan Jepang,  adalah  negara-negara  yang  telah  mendudukkan  pendidikan  sebagai  bagian terpadu  dari  pembangunan  bangsanya.  Untuk  itu  mereka  sejak  awal  pembangunan bangsa telah mengalokasikan sekurangkurangnya 5 persen dari GDP untuk pendidikan.
Negara-negara yang penulis sebut di atas, yang termasuk pemegang moto “to build nation build schools”,membatasi pengertian sistem pendidikan pada sistem persekolahan. Bahkan UUD Jerman tidak menyebut sistem pendidikan, melainkan school education: “the  entire school education is under the supervision of the state (Pasal 7 UUD Jerman). Sosiolog seperti Talcot Parson dan Alex Inkeles pun ikut menyoroti peranan pendidikan dalam pembangunan bangsa AS.”[12]
Karena  itu  penulis  akan  menganalisis  mengapa  sekolah  merupakan  lembaga pendidikan  yang paling strategis untuk membudayakan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap.

     III.      Sekolah/Satuan Pendidikan Sebagai Pusat Pembudayaan

Sekolah  sebagai  lembaga  pendidikan  yang  bersifat  massal,  sebagai  lembaga sosial, muncul  bersamaan dengan proses industrialisasi  yang mengakibatkan terjadinya urbanisasi,  vokasionalisasi,  spesialisasi,  serta  mendorong  orangtua  meninggalkan  anak untuk bekerja. Akibatnya, orangtua tidak memiliki waktu untuk mendidik anakanaknya. Karena itulah diperlukan suatu lembaga pendidikan yang  khusus menyiapkan generasi muda  untuk  menghadapi  tuntutan  baru  masyarakat  modern.  Untuk  keperluan  itulah sekolah  didirikan.  Sekolah  yang  dimaksud  di  sini  adalah  seperti  yang  dianut  oleh Yehudi A. Cohen, seorang antropolog:
“By a school I mean an institution devoted to instruction, with specialized personnel, permanent  physical  structure, special  apparatus  (of  which text  are  important  part), formal and stereotyped means of instruction, a curriculum, and rationally defined manifest objectives”.[13]
Sesungguhnya secara formal sekolah-sekolah kita telah memenuhi syarat seperti yang dimaksudkan oleh Cohen, yaitu adanya tenaga khusus (guru), gedung permanen, perlengkapan belajar,  metode pembelajaran, perangkat kurikulum, dan tujuan-tujuan pendidikan  yang harus dicapai. Namun mengapa lembaga pendidikan sekolah kita, yang secara formal telah memenuhi syarat, dalam kenyataan belum mampu melaksanakan fungsinya seperti yang terjadi di AS, Inggris, dan Jerman? Jawabannya: pertama, setiap elemen sekolah yang disebut  kondisinya  jauh  dari  standar.  Jaminan   kesejahteraan   seorang  guru  agar  dapat berkonsentrasi melakukan fungsinya sebagai pengajar dan pendidik belum sepenuhnya memadai. Dalam hal fasilitas gedung sekolah, pada umumnya gedung sekolah kita hanya berupa  ruang kelas tanpa halaman, tanpa lapangan olahraga, tanpa ruang perpustakaan, serta tanpa ruang kerja guru.  Dalam hal sumber belajar, buku pelajaran sangat terbatas, laboratorium baik IPA maupun bahasa umumnya tidak ada atau tidak difungsikan, kebun botani tidak ada. Dalam hal  metode  pembelajaran,   kondisinya  sangat  tradisonal  karena  tidak  ada  penunjang. Kurikulum sangat sarat materi yang tidak  mengutamakan yang esensial, fungsional, dan relevan. Sedangkan dalam hal tujuan yang harus dicapai, antara yang seharusnya dan dalam praktik jaraknya demikian jauh. Bandingkan tujuan pendidikan dasar seperti  yang tercantum dalam Pasal 13 Ayat (1) yang berbunyi:
“Pendidikan  dasar  diselenggarakan  untuk  mengembangkan  sikap  dan  kemampuan  serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar untuk dapat hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik  yang memenuhi  persyaratan  untuk  mengikuti  pendidikan menengah.”
Dan pendidikan menengah, dalam Pasal 15 Ayat (1), berbunyi:

“Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta  menyiapkan  peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi.”
Apalagi jika kita membaca ketentuan pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 yang tertulis
            “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak         serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan           bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia             yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,         berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Karena itu ukuran keberhasilan seorang lulusan menggunakan Ebtanas  atau  UAN, semuanya hanya terbatas pada dimensi tertentu dari ranah kognitif, sukar untuk dapat mendukung tercapainya fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
Dari kajian di atas jelaslah betapa sekolah yang kedudukannya sangat strategis sampai sekarang belum dapat berfungsi secara optimal untuk menyiapkan generasi muda yang memiliki kemampuan, nilai, dan sikap yang dituntut oleh masyarakat Indonesia yang sedang membangun kehidupan  negara bangsa modern. Dengan kata lain, kalau sekolah- sekolah kita tetap dalam kondisi demikian, sukar diharapkan bahwa fungsinya yang strategis dapat terlaksana. Padahal UU No. 20 Tahun 2003 telah  menetapkan 8 standar dan PP 19 Tahun 2005 telah menetapkan standar tersebut tetapi sampai tahun 2012 mayoritas sekolah kita belum  cukup  memenuhi standar yang ditetapkan. Kelima elemen sekolah yang ideal pun tidak dengan sendirinya dapat bermakna tanpa dirancang           suatu strategi pembelajaran yang relevan dengan tujuan dan fungsi pendidikan sekolah. Pertanyaan yang selanjutnya yang akan diulas adalah bagaimana melaksanakan pendidikan IPS yang dapat mendukung proses memajukan kebudayaan nasional? bagian berikut akan berusaha menganalisisnya.

       IV.      Peranan Pendidikan IPS dalam Menunjang Proses Memajukan Kebudayaan Nasional

Seperti telah disinggung pada bagian terdahulu bahwa salah satu misi penyelenggaraan pemeerintahan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa suatu misi yang menurut penulis bermakna proses transformasi budaya dari budaya tradisional menjadi budaya modern baik politik, ekonomi, dan IPTEK, dan dari feodal ke demokratik. Dan untuk dapat terlaksananya proses transformasi budaya tersebut pendiri republik menetapkan kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional dan memajukan kebudayaan nasional. Karena itu, seperti digariskan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sekolah ditetapkan sebagai pusat pembudayaan. Ini berarti bahwa setiap mata pelajaran/mata kuliah berperan sebagai wahana untuk membudayakan kemampuan nilai, dan sikap, yang secara keseluruhan adalan nilai budaya. Dalam kaitan ini jelaslah bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial  (IPS) yang meliputi Sosiologi, Antropologi, Politik, Ekonomi, dan Sejarah harus berperan memajukan kebudayaan  yang meliputi budaya politik demokrasi, budaya ekonomi dan budaya IPTEK, disamping nilai-nilai moral.
yang menjadi peranan adalah model pembelajaran seperti yang dapat bermakna proses pembudayaan? Jelas bukan model pembelajaran yang hanya mendengar, mencatat, dan mengingat dengan diakhiri ulangan/ujian dalam bentuk pilihan ganda.
Perlu diketahui IPS adalah wilayah ilmu empiris[14], satuan wilayah ilmu yang teori concept dan generalisasinya didasarkan atas observasi , dan eksperimen untuk sampai kepada kesimpulan. Karena itu sebagai obyek belajar peserta didik perlu menghayati proses sampai suatu konsep atau teori ditemukan ,dan bukan langsung menghafal teori. Dalam hubungan ini Philip Phenix menyatakan dalam kalimat berikut:
“It is more important for the student to become skillful in the ways of knowing than to learn about any particular product of investigation. Knowledge of methods makes it possible for a person to continue learning and undertake inquiries on his own.”‘
Dari kalimat itu jelas bahwa kalau hanya menghafal konsep peserta didik tidak akan meningkat keingintahuannya. Untuk itu memasuki abad ke-21. UNESCO merekomendasikan ditetapkannya empat pilar belajar learning to know, learning to do learning to live together, learning to be[15].
Proses pembelajaran learning to know adalah proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik/mahasiswa menguasai teknik memperoleh pengetahuan, dan bukan hanya meneperoleh pengetahuan dalam bahasa Israel Scheffer pilar ini hakekatnya terkait dengan relevansi epistemologi suatu metode pembelajaran yang memungkinkan peserta didik terlibat dalam proses meneliti dan mengkaji dalam lengkap Israel Scheffer seperti dikutip dibawah ini.
Epistemological relevance in short requires us to reject both myth and mystic union. It requires not contact but criticism, not immersion in the phenomenal and conceptual given, but the flexibility of mind capable of transcending, reordering, and expanding the given. ‘An education that fosters criticism and conceptual flexibility transcends its environment and by erecting a mythical substitue for this world but rather striving for a systematic and penetrating comprehension of it.”[16]
Selanjutnya dia menguraikan pengkajian dalam kali¬mat berikut:
“Theoretical inquiry, independently pursued has the most powerful potential for the analysis and transformation of practice. The bearing of inquiry upon practice is moreover of the greatest educational interest. Such interest is not, contrary to recent emphases, exhausted in a concern for inquiry within the structure of several disciplines. Students should be encouraged to employ the information and technique of disciplines in analysis, criticism, and alteration of their practical outlook. Habits of practical diagnosis, critique and execution upon responsible inquiry need the supplement theoretical attitude and disciplinary proficiencies in the training of the young.”[17]
Sengaja penulis mengutip pandangan Scheffler de¬mikian panjang karena dari sudut pandang pendidikan tinggi, pandangannya tentang relevansi pendidikan sangat terkait dengan learning to know pada tingkat pendidikan tinggi. Seperti halnya Phenix, Scheffler memandang pen¬tingnya pilar learning to know untuk berangkat dari disiplin ilmu pengetahuan, karena bagi mereka mode of inquiry disiplin ilmu adalah bentuk yang paling tertinggi dari berpikir. Dalam kaitan ini dia menyatakan:
Proses pembelajaran pilar kedua learning to dobagaimana dengan pilar kedua learning to dolKalau pilar pertama, learning to know, sasarannya adalah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga tercapai keseimbangan dalam penguasaan Iptek di antara negara-negara di dunia, sasaran pilar kedua adalah kemampuan kerja generasi muda untuk mendukung dan memasuki ekonomi industri. Dalam masyarakat industri atau ekonomi industri tuntutan tidak lagi cukup dengan penguasaan keterampilan motorik yang kaku melainkan diperlukan kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan  pekerjaan seperti controlling, monitoring, maintaining, designing, organizing, yang dengan kemajuan teknologi pekerjaan yang sifatnya fisik telah diganti dengan mesin. Dengan kata lain, menyiapkan anggota masyarakat me¬masuki dunia kerja yang dalamtechnology knowledge based economy, belajar melakukan sesuatu dalam situasi yang konkrit yang tidak hanya terbatas pada penguasaan keterampilan yang mekanistis, melainkan meliputi ke¬mampuan berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain, serta mengelola dan mengatasi konflik.
Dalam kaitan dengan learning to do perlu dikaitkan dengan pandangan Scheffler tentang relevansi psikologis maupun doktrin Whitehead tentang hakikat pendidikan sebagai upaya penguasaan seni menggunakan pengetahu¬an. Ini berarti pula bahwa untuk melahirkan generasi baru yang intelligent dalam bekerja, pengembangan kemampuan memecahkan masalah dan berinovasi sangatlah diperlukan. Dalam kaitan ini, ada baiknya penulis kutip¬kan pandangan Scheffler tentang relevansi psikologis:
“Thought according to widely prevalent doctrine is problem oriented. It originates in doubt, conflict, and difficulty. The functions is to overcome obstacles to the smooth flow of human activities. When action is coherent and well adapted to its circumstances, human energy is released into overt channel set by habit and custom. The blocking of conduct either through internal conflict on environment hidrance, turns its energy inward, trans¬forming its into thought.”[18]
Dalam kaitan ini, pada tingkat pendidikan tinggi, meng¬andung makna atau berimplikasi tentang perlunya pen¬didikan profesional yang bermuara pada paradigma peme¬cahan masalah, yang memungkinkan seorang mahasiswa mengintegrasikan pemahanan konsep serta penguasaan keterampilan teknis dan intelektual guna memecahkan masalah dan dapat berlanjut pada inovasi dan improvisasi.
Proses pembelajaran pilar ketiga learning to live togetherkemajuan di bidang Iptek dan ekonomi yang meng¬ubah dunia menjadi desa global ternyata tidak menghapus konflik antaramanusia. Yang terjadi akhir-akhir ini bah¬kan sebaliknya, yaitu terjadinya konflik antarmanusia yang didasarkan pada prasangka, baik antarras, antar¬suku, antar-agama dan antar-si kaya dan si miskin, dan antarnegara. Padahal sejak berakhirnya Perang Dunia II, berbagai deklarasi telah dijadikan dasar penyelesaian r konflik, seperti Deklarasi HAM dan Piagam PBB. Bangsa kita sendiri memiliki landasan Pancasila yang hakikatnya adalah membangun negara kebangsaan yang demokratis, berkeadilan sosial, ber-Ketuhanan yang Maha Esa, dan menggalang persatuan dan persaudaraan bukan hanya antarwarga bangsa, melainkan dengan seluruh umat manusia seperti dinyatakan dalam kalimat “ketertiban dunia yang didasarkan kemerdekaan, keadilan sosial dan perdamaian abadi”. Komisi Internasional untuk Pendidikan Abad ke-21 mengakui sulitnya menciptakan kerukunan, toleransi dan saling pengertian, serta bebas dari prasangka.
“It is difficult task, since people very naturally tend overvalue their own qualities and those of their group and to harbour prejudices against others. Furthermore, the general climate of competition that is at present characteristic of economic activity, within and above all between nations, tends to give priority to the competitive spirit and individual success. Such competition now amounts to ruthless economic warfare and to a tension between rich and poor that is dividing nations and the world, and exacerbating historic rivalries.”[19]
Latar belakang kenyataan dalam masyarakat yang digambarkan oleh komisi di atas menuntut pendidikan tidak hanya membekali generasi muda untuk menguasai Iptek dan kemampuan bekerj a serta memecahkan masalah, melainkan kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi, pengertian, dan tanpa prasangka. Dalam kaitan ini adalah tugas pendidikan untuk pada saat yang sama memberi peserta didik pengetahuan dan kesadaran bahwa hakikat manusia adalah beragam, namun dalam keragaman itu terdapat persamaan.
Pendidikan untuk mencapai tingkat kesadaran akan persamaan antarmanusia dan saling ketergantungan tidak dapat ditempuh lewat pendidikan dengan pendekatan tradisional. Dalam hubungan ini, prinsip relevansi sosial dan moral yang disarankan oleh Israel Scheffler sangat memadai. Suatu prinsip yang memerlukan suasana belajar yang secara inherently mengandung nilai-nilai toleransi saling bergantung, kerjasama, dan tenggang rasa. Ini diperlukan proses pembelajaran yang menuntut kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Kegiatancamping yang berlangsung mingguan dengan sasaran bersama yang harus dicapai oleh seluruh peserta merupakan salah satu model gperlu ditempuhl Model sekolah berasrama dan kampus, yang merupakan kawasan tersendiri, merupakan pendekatan yang ditempuh Inggris dan AS dalam mem¬bangun bangsa yang bersatu. Kiranya bangsa Indonesia perlu belajar dari negara lain.
Proses pembelajaran pilar keempat learning to be
Tiga pilar pertama ditujukan bagi lahirnya generasi muda yang mampu mencari informasi dan/atau mene-mukan ilmu pengetahuan dan mampu memecahkan masa¬lah, mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Hasil akhirnya adalah manusia yang mampu mengenal dirinya, yang dalam bahasa UU No. 2 Tahun 1989 adalah manusia yang berkepribadian mantap dan mandiri. Manusia utuh yang memiliki kemantapan emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yangdapat mengendalikan dirinya, yang konsisten dan yang memiliki rasa empati (tepo seliro), atau dalam kamus psikologi disebut memiliki emotional intelligence. Inilah kurang lebih makna learning to be, yaitu menjadi muara akhir tiga pilar belajar.
Bila model pembelajaran IPS menempuh empat pilar belajar tersebut muatan kurikulum haruslah selektif. Untuk itu disarankan pokok materi yang dipilih haruslah memenuhi kriteria berikut:
1.         Bahan pelajaran harus diambil dari discplined of inquiry;
2.         Bahan pelajaran harus diambil dari konsep-konsep utama suatu disiplin;
3.         Bahan pelajaran mengutamakan mode of inquiry;
4.         Bahan pelajaran harus dapat mendorong peserta didik berfikir imajinatif.
Pelaksanakan empat pilar belajar tersebut tidak akan bermakna tanpa didukung oleh sistem evaluasi yang komprehensif terus menerus dan obyektif.

         V.      Beberapa Catatan Penutup
Dari serangkaian ulasan terdahulu dapatlah ditarik beberapa catatan berikut:
1.         Bahwa pendidikan nasional dirancang diselenggarakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional.
2.         Bahwa makna mencerdaskan kehidupan bangsa adalah melakukan transformasi budaya dari tradisional ke modern, dan dari feodal ke demokratis.
3.         Bahwa sekolah dirancang untuk menjadi wahana atau pusat pembudayaan yaitu membudayakan kemampuan nilai dan sikap.
4.         Bahwa IPS sebagai mata pelajaran/mata kuliah dalam satuan pendidikan (sekolah IPS) harus dirancang untuk menjadi wahana proses pembudayaan.

5.         Bahwa agar IPS dan PAT secara relevan dan efektif dapat menjadi wahana pembudayaan perlu diterapkan model pembelajaran yang menetapkan empat pilar belajar dan sistem evaluasi yang komprehensif, terus menerus, dan obyektif.